Kamis, 02 Juli 2009

HUKUM BERKHITAN

HUKUM BERKHITTAN

DALAM tulisan "Khitan pada Bayi Perempuan, Sangat Berbahaya!" (Kompas, 28 Maret 2003), ditawarkan penghapusan praktik khitan bagi perempuan. Menurutnya, di samping merusak hak kesehatan reproduksi, hukum Islam pun dikesankan tidak mengatur khitan ini secara jelas. Apakah benar?

Khitan sesungguhnya kelanjutan dari tradisi Ibrahim AS. Dialah orang yang pertama kali dikhitan. Selain proses bedah kulit bersifat fisik, khitan Ibrahim juga dimaksudkan sebagai simbol dan ikatan perjanjian suci (mîtsâq) antara dia dengan Tuhannya, Allah. Seseorang tidak diperkenankan memasuki kawasan suci Kalam Ilahi sebelum mendapat "stempel Tuhan" berupa khitan. Khitan yang melambangkan kesucian itu kemudian diikuti pengikut Ibrahim, laki-laki dan perempuan, hingga kini.

Para antropolog menemukan, budaya khitan telah populer di masyarakat semenjak pra-Islam yang dibuktikan dengan ditemukannya mumi perempuan di Mesir Kuno abad ke-16 SM yang memiliki tanda clitoridectomy (pemotongan yang merusak alat kelamin). Pada abad ke-2 SM, khitan perempuan dijadikan ritual dalam prosesi perkawinan. Dalam penelitian lain ditemukan khitan telah dilakukan bangsa pengembara Semit, Hamit dan Hamitoid di Asia Barat Daya dan Afrika Timur, beberapa bangsa Negro di Afrika Timur dan Afrika Selatan. Di Indonesia sendiri, tepatnya di Museum Batavia, terdapat benda kuno yang memperlihatkan zakar telah dikhitan.

Tujuan khitan

Khitan bagi lelaki dilakukan dalam bentuk hampir sama di semua tempat, yaitu pemotongan kulit kepala penis. Sedangkan khitan bagi perempuan dilakukan berbeda-beda: hanya sebatas membasuh ujung klitoris; menusuk ujung klitoris dengan jarum; membuang sebagian klitoris; membuang seluruh klitoris; dan membuang labia minora (bibir kecil vagina) serta seluruh klitoris, kemudian hampir seluruh labia majora (bibir luar vagina) dijahit, kecuali sebesar ujung kelingking untuk pembuangan darah menstruasi.

Secara medis, khitan bagi lelaki memiliki implikasi positif. Lapisan kulit penis terlalu panjang sehingga sulit dibersihkan. Bila tidak dibersihkan, kotoran yang biasa disebut smegma mengumpul sehingga dapat menimbulkan infeksi pada penis serta kanker leher rahim pada perempuan yang disetubuhinya. Secara medis juga dibuktikan, bagian kepala penis peka terhadap rangsangan karena banyak mengandung syaraf erotis sehingga kepala penis yang tidak disunat lebih sensitif daripada yang disunat dan sunat membantu mencegah ejakulasi dini.

Secara medis, khitan bagi perempuan belum ditemukan keuntungannya. Praktik amputasi alat kelamin perempuan tidak terlepas dari nilai kultur masyarakat. Perempuan dianggap tidak berhak menikmati kepuasan seksual sebab dia hanya pelengkap kepuasan seksual lelaki. Di samping itu, sebagian masyarakat meyakini perempuan memiliki nafsu seksual lebih tinggi dibanding lelaki. Cara efektif untuk mereduksi seksual perempuan ini, menurut mereka, adalah dengan mengkhitannya.

Hukum Islam

Al-Quran tidak menjelaskan khitan, namun ada beberapa hadis yang menerangkan hal itu. Pertama, riwayat dari Utsman bin Kulaib bahwa kakeknya datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata: "Aku telah masuk Islam." Lalu Nabi SAW bersabda: "Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah." Kedua, riwayat dari Harb bin Ismail: "Siapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah walaupun sudah besar." Ketiga, riwayat dari Abu Hurairah: "Bersih itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak." Keempat, riwayat dari Ibn Abbas: "Khitan itu disunahkan bagi laki-laki dan dimuliakan bagi perempuan."

Meskipun banyak hadis menunjukkan pensyariatan khitan, ternyata itu belum memberi kejelasan secara pasti tentang status hukumnya. Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah menegaskan, "Semua hadis yang berkaitan khitan perempuan adalah dha‘if, tidak ada satu pun yang shahih". Dengan demikian secara ex officio bisa dikatakan khitan perempuan merupakan masalah ijtihadiyah. Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh mendeskripsikan perbedaan ulama mazhab tentang hukum khitan. "Khitan bagi laki- laki menurut mazhab Hanafi dan Maliki adalah sunnah mu’akkad (sunah yang dekat kepada wajib), sedangkan khitan bagi perempuan dianggap kemuliaan, asal tidak berlebihan sehingga ia tetap mudah merasakan kenikmatan seksual. Menurut Imam Syafi’i, khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan.

Perumusan hukum khitan juga harus mempertimbangkan tujuan pensyariatan hukum. Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah mengatakan syariat Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia, di dunia dan akhirat. Cita kemaslahatan dapat direalisasikan jika lima unsur pokok dapat terpelihara, yaitu pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Mengikuti konsep di atas, tampak khitan lelaki bertujuan memelihara jiwa, baik suami maupun istrinya. Dengan mempertimbangkan hal ini, khitan bagi lelaki menjadi wajib demi mendatangkan kebaikan (maslahah) dan menghindari kerusakan (mafsadah).

Praktik khitan bagi perempuan di masyarakat agaknya dimaksudkan sebagai kontrol terhadap seksualitas perempuan. Dengan demikian, praktik khitan yang membuang sebagian atau seluruh klitoris, bahkan menjahit labia majora menjadi dibenarkan dalam nalar masyarakat patriark.

Sejumlah penelitian menemukan, praktik pemotongan klitoris menyebabkan perempuan mengalami kesulitan orgasme. Dengan teori tujuan pensyariatan hukum, disimpulkan praktik pemotongan klitoris menimbulkan kemudaratan sehingga tidak absah dilaksanakan. Hal ini berbeda dari praktik khitan yang hanya sekadar membasuh atau mencolek ujung klitoris dengan jarum. Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada Ummu Athiyyah, tukang khitan perempuan di Madinah: "Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami." Dalam riwayat lain disebutkan: "Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami." (HR Abu Daud)

Ada dua pendekatan dalam memahami hadis di atas. Pertama, dilihat dari asbab al-wurud hadis. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab terbiasa mengkhitan perempuan dengan membuang seluruh klitoris dengan alasan agar dapat mengurangi kelebihan seksual perempuan, yang pada gilirannya dapat memagari dekadensi moral masyarakat Arab ketika itu. Sewaktu Nabi mendengar Ummu Athiyyah mengkhitan dengan cara demikian, Nabi langsung menegur agar praktik khitannya harus diubah sebab dapat menimbulkan kurangnya kenikmatan seksual perempuan.

Kedua, redaksi (matan) hadis terdapat ungkapan isymii wa laa tunhikii (sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan). Kata isymam, secara etimologis, berarti mencium bau. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Nabi Muhammad SAW memerintahkan khitan perempuan dengan cara seperti halnya mencium bau sehingga tidak merusak klitoris. Sedangkan kata laa tunhikii merupakan lafaz larangan (al-nahy) yang bermakna pasti, artinya "pastikan jangan berlebihan". Dengan demikian secara teks dapat dipahami, Nabi tidak pernah memerintahkan khitan dengan merusak alat reproduksi. Justru sebaliknya, khitan yang diajarkan Nabi diharapkan dapat memberi keceriaan, kenikmatan, dan kepuasan seksual bagi perempuan. Menurut Islam, hak memperoleh kepuasan seksual antara lelaki dan perempuan sama. Artinya, kepuasan dan kenikmatan seksual adalah hak sekaligus kewajiban bagi suami dan istri secara paralel (QS 2: 187).

Cara pelaksanaan khitan inilah yang menimbulkan permasalahan. Sebagian masyarakat beranggapan agama telah melegitimasi praktik khitan yang mengamputasi organ seksual perempuan. Padahal, agama mana pun tidak akan melegalisasi perusakan demikian. Oleh karena itu, jangan sampai karena praktik yang keliru lalu secara serta-merta tradisi indah yang bernilai ibadah dan beresensikan simbol ikatan suci dengan Allah itu diperangi begitu saja. Sebaiknya dicarikan jalan tengah, substansi khitan dipertahankan namun praktik kelirunya yang dihindari. Penawaran ini pada gilirannya menjadi tugas para ulama, dokter, dan kita semua untuk merumuskannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar